Selasa, 18 Juni 2019

Konservasi Arsitektur - TUGAS 4


Kasus Konservasi Arsitektur di Asia

CLARKE QUAY, SINGAPURA
Hasil gambar untuk CLARKE QUAY
Kawasan Clarke Quay merupakan satu dari banyak kawasan di Singapura yang merupakan pilot project untuk pelaksanaan konsep konservasi dari Pemerintah
Singapura. Asal-usul kata Clarke Quay sendiri diambil dari nama Gubernur kedua Singapura, yaitu Sir Andrew Clarke dan Gubernur Straits Settlements yang memerintah dari tahun 1873-1875. Mereka mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjadikan Singapura sebagai posisi utama sebagai pelabuhan untuk negara bagian Perak, Selangor dan Sungai Ujong. Selain itu Clarke Quay juga merupakan nama dari sebuah jalan di sepanjang dermaga, dimana daerah tersebut telah berubah menjadi area bagi pejalan kaki atau pedestrian. Nama jalan Clarke Street, yang terletak di samping Clarke Quay, diresmikan pada tahun 1896. Dahulunya sebelum adanya program konservasi pada area ini, dua jalan tersebut dikenal sebagai Street East dan West Street di utara Kampong Malaka. Sama dengan Clarke Quay, Clarke Street juga dijadikan sebagai area untuk pejalan kaki, yang berupa restoran dan tempat hiburan malam. Area Clarke Quay terletak di dekat mulut Singapore river, yang dibatasi oleh Tye Tan Place dan Canning Road. Letaknya yang berhadapan dengan mulut Singapore River, Clarke Quay ini disebut-sebut sebagai dermaga tertua di singgapura karena Singapore River atau Sungai Singapura telah menjadi pusat perdagangan sejak Singapura modern didirikan pada tahun 1819. Selain Clarke Quay, daerah konservasi juga mencakup Boat Quay yang merupakan satu kawasan dengan Clarke Quay. Selama era kolonial, Boat Quay adalah pusat kawasan komersial dimana tongkang pemantik akan mengangkut barang dari hulu ke gudang-gudang di Clarke Quay. Pada puncak kemakmurannya, puluhan kapal pesiar berdesak-desakan untuk berlabuh di sebelah Clarke Quay. Fenomena ini terus berlanjut ke paruh kedua abad kedua puluh. Sehingga membuat sungai singapura menjadi sangat tercemar.

Dengan munculnya fenomena tersebut, maka Pemerintah memutuskan untuk merelokasi tempat bongkar muat ke daerah Pasir Panjang. Pemerintah kemudian membersihkan Singapore River dan lingkungannya pada tahun 1977-1987. Rencana
dibuat untuk merubah daerah tersebut dan mengubahnya menjadi kawasan komersial yang maju, perumahan dan hiburan malam. Rencana ini menjadi pertimbangan serius mengingat nilai historis dari Clarke Quay. Bangunan yang ada di sepanjang daerah Clarke Quay yang semula akan dihancurkan oleh para pengembang, sengaja dipertahankan oleh Pemerintah yang pro terhadap kegiatan konservasi. Bangunan-bangunan lama dipertahankan dengan merenovasinya sehingga menghasilkan bangunan dengan fungsi baru, hal ini dikenal dengan konsep konversi. Sementara itu beberapa bangunan baru dibangun dengan mempertahankan karakter bangunan-bangunan lama. Bangunan baru sengaja dibangun dengan mengikuti gaya dan juga karakter bangunan lama, sehingga karakteristik dasar dari bangunan lama di sepanjang Clarke Quay tidak tercemar sama sekali. Konsep konversi bangunan tua pun diterapkan dalam konservasi kawasan Clarke Quay dan Boat Quay ini. Bangunan tua dikonversikan menjadi bangunan yang melayani kegiatan turisme di daerah tersebut, yaitu dengan dirubahnya bangunan-bangunan tua tersebut menjadi fungsi komersil yaitu kafe, bar, pusat hiburan dan pertokoan. Kemudian berjalan dengan waktu, perkembangan daerah konservasi Clarke Quay semakin tajam, dengan meningkatnya kunjungan turis di daerah tersebut, membuat daerah tersebut menjadi lebih hidup, terutama saat malam hari. Hal ini tentu saja dapat menjadi indicator keberhasilan pemerintah Singapura dalam penerapan konsep konservasi pada daerah tua yang sebenarnya sudah terbengkalai dahulunya.
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi pada daerah tersebut, memberikan suatu ide bagi pemerintah Singapura dalam menjadikan daerah Clarke Quay sebagai proyek percontohan konservasi. Untuk itu pemerintah Singapura mencanangkan sebuah proyek konservasi terbesar di daerah Singapore River, yaitu dengan dibentuknya Clarke Quay Festival Village, yang dikembangkan dan secara resmi dibuka pada 10 Desember 1993. Dalam tahun-tahun berikutnya, Clarke Quay dikelola dan dikembangkan oleh Kapitaland. Sepuluh tahun kemudian, karya-karya dimulai untuk merubah Clarke Quay di daerah dalam rangka untuk memberikan tempat yang lebih baik. Pembangunan juga melihat perubahan besar pada eksterior dan kawasan tepian sungai. Clarke Quay dikembangkan menjadi kawasan komersial dan kawasan bisnis. Seluruh pembangunan ini selesai pada bulan Oktober 2006. Proyek konservasi di Singapore River ini merupakan salah satu dari penerapan konsep konservasi pada daerah bantaran sungai yaitu pada tepian Singapore River. Daerah ini menjadi sangat terkenal sehingga merupakan salah satu daerah yang berperan dalam peningkatan perekonomian negara Singapura.

KONSEP KONSERVASI
Seorang ahli hukum dari Universitas Kopenhagen, Denmark, JJA Worsaae pada abad ke-19 yang mengatakan, ”bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak hanya melihat masa kini dan masa mendatang, tetapi mau berpaling ke masa lampau untuk menyimak perjalanan yang dilaluinya”. Senada dengan ucapan di atas ungkapan lain muncul yang ditegaskan oleh filosuf Aguste Comte dengan ”Savoir Pour Prevoir”, yang artinya mempelajari masa lalu, melihat masa kini, untuk menentukan masa depan. Melihat masa lalu yang diungkapkan dengan keberadaan fisik bangunan kuno tentunya tidak dilihat sosok fisik bangunannya saja, tetapi nilai sejarah besar apa yang melekat dan membungkusnya sebagai makna kultural. Karena tampilan pembungkus makna ini dapat diikutkan dalam menentukan dan memberikan identitas bagi kawasan perkotaan di masa mendatang.
Namun permasalahan yang muncul, adalah seberapa dekatkah kita dapat
memahami akan istilah “konservasi”, yang sekarang sedikit telah mengalami perubahan muncul dengan istilah baru, yaitu “bangunan kuno-bersejarah”. Sebenarnya istilah konservasi dan preservasi itu sendiri, telah digunakan dengan berbagai macam pengertian. Preservation (preservasi), adalah sejenis campur tangan (intervensi) yang mempunyai tujuan untuk melindungi dan juga memperbaiki bangunan bersejarah, dan pada umumnya, dan kata preservation banyak digunakan di Amerika (USA). Demikian pula dengan conservation (konservasi), adalah tindakan untuk memelihara sebanyak mungkin secara utuh dari bangunan bersejarah yang ada, salah satunya dengan cara perbaikan tradisional, atau dengan sambungan baja, dan atau dengan bahan-bahan sintetis, dan kata conservation ini lebih banyak digunakan di UK dan Australia (Larsen, 1994). Dengan keberagaman pemahaman, akhirnya muncul pendapat lain mengenai preservasi, adalah upaya preservasi sesuatu tempat persis seperti keadaan aslinya tanpa adanya perubahan, termasuk upaya mencegah penghancuran, sedangkan konservasi, adalah upaya untuk mengkonservasi bangunan, mengefisienkan penggunaan dan mengatur arah perkembangan di masa mendatang. Bahkan dalam dalam Piagam Burra pengertian konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dan dapat pula mencakup: preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi (Marquis-Kyle & Walker, 1996).
Kata Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana). Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumber daya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumber daya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.

KONVERSI BANGUNAN TUA
Dalam konsep konservasi dikenal juga dengan istilah konversi bangunan. Apa
yang dimaksud dengan konversi bangunan? Konversi bangunan biasanya diterapkan pada bangunan tua, di mana di dalamnya diaplikasikan adanya suatu perubahan dan alih fungsi dari bangunan tersebut. Sebagai contoh yang semula bangunan merupakan bangunan perkantoran, dapat dialih fungsikan menjadi bangunan hiburan kafe atau restoran misalnya. Perubahan dan alih fungsi bangunan-bangunan tua inilah yang disebut dengan konversi bangunan tua. Tujuan dari konversi ini adalah untuk menemukan penggunaan yang lebih layak secara ekonomi untuk bangunan tua bersejarah agar tidak terbengkalai dan tetap terawat. Hal ini juga berkaitan dengan manajemen dari bangunan tua sehingga tetap terpelihara menggunakan biaya yang diperoleh dari dana masuk uang sewa pada setiap bangunan. Pada hakekatnya konversi dipilih sebagai sebuah usaha konservasi karena melihat bahwa fungsi bangunan tua yang lama, rasanya sudah tidak tepat lagi bila tetap dipertahankan. Sehingga dengan berjalannya waktu serta meningkatnya permintaan pasar akan ruang komersil, maka dimunculkanlah fungsi baru dari bangunan tua yang dikonservasikan.
Walaupun bangunan tua tersebut mengalami beberapa proses perombakan sebagai implementasi untuk konservasi, namun tetap saja karakter dari masing masing bangunan bersejarah tetap dipertahankan. Selain itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan konversi dan konservasi, diantaranya adalah masalah yang dikaitkan dengan utilitas bangunan, mengingat bangunan tua tersebut mempunyai kondisi yang memprihatinkan.
Perubahan fungsi bangunan tua tersebut, tentunya juga harus memperkuat karakter dari setiap bangunan yang dikonversi. Untuk itu Pemerintah Kota di berbagai negara di dunia mencoba untuk menggulirkan beberapa alternatif bagi setiap bangunan tua yang sudah tidak terawat menjadi bangunan dengan fungsi baru yang mempunyai kualitas lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Beberapa bangunan yang dikonversikan tersebut secara disain terlihat mencolok perubahannya walaupun pada akhirnya tetap mempertahankan kualitas keaslian dari arsitektur bersejarahnya.

CLARKE QUAY SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI
Clarke Quay merupakan salah satu kawasan konservasi yang ada di Singapura yang di jadikan sebagai kawasan komersil dan bisnis. Kawasan Clarke Quay ini juga disebut-sebut sebagai kawasan pusat turis yang ada di Singapura.
Peta Singapura (kiri) dan Clarke Quay (kanan)
Perbatasan area Clarke Quay meliputi:
a. Sebelah Utara : River Valley Road
b. Sebelah Timur : Hill Street
c. Sebelah Barat : Merchant Road
d. Sebelah Selatan : Clemenceau Avenue

Gambar Rencana Konservasi Clarke Quay pada tahun 1989
(Sumber: URA)
Pada gambar diatas terlihat jelas Blok-Blok yang rencananya akan di konservasi pada tahun 1989. Konservasi dilakukan pada Blok A – Blok E. Rencana konservasi tersebut masih dilaksanakan hingga saat ini dan masih dilakukan pengembangan guna memfasilitasi atau mewadahi aktifitas dan kebutuhan para pengunjung maupun turis-turis.

PRINSIP DAN PENDEKATAN
Sejarah arsitektur Singapura adalah kisah dari pengrajin terampil dan arsitek. Ini merupakan satu investasi dari suatu tempat yang berkualitas untuk bekerja maupun bermain. Keterampilan yang baru, pengetahuan dan semua teknologi masa lalu bersatu untuk membawa masa lalu tersebut kembali di kehidupan yang produktif. Kualitas restorasi bukan lebih dari sekedar pemeliharan satu bagian muka gedung atau fasade dari suatu bangunan. Restorasi harus mempertahankan jiwa dan suasana asli dari bangunan bersejarah tersebut. Hal ini memerlukan suatu apresiasi dan pemahaman arsitektur serta struktur bangunan tradisonal, manajemen yang baik dan dipraktekan/ dijalankan.
Dalam konsep konservasi dikenal ada 3 prinsip fundamental yang dikenal
sebagai prinsip 3R. Prinsip fundamental dari konservasi dapat digunakan untuk semua bangunan konservasi tanpa tergantung dari skala dan kompleksitas. Prinsip tersebut adalah adalah maximum Retention (ingatan maksimum), sensitive Restoration (restorasi sensitive) dan careful Repair (perbaikan secara seksama. Penggantian selektif pada sebuah kawasan yang akan dikonservasi harus dipertimbangkan ketika benar-benar diperlukan. Rekonstruksi total harus mendapatkan persetujuan dari badan konservasi internasional. Bangunan yang dipelihara akan di restorasi sesuai dengan petunjuk konservasi. Semua unsur-unsur struktural dan arsitektur asli akan dipertahankan serta di-restorasi. Seandainya beberapa unsur-unsur harus diperbaiki atau diganti, harus tetap menunjukan fitur aslinya. Ketika merenovasi dan mengadaptasikan suatu bangunan fasade pada bangunan tidak akan diubah atau dirobohkan, jika ada jalan/ cara lain dalam pemeliharaan harus dapat diupayakan dengan cara apapun agar kondisinya tetap asli, yaitu dengan cara memperkuat struktur yang sudah ada. Dalam perenovasian, bahan dan material yang digunakan harus sama dengan yang aslinya, agar bangunan yang direnovasi tetap menunjukan citra aslinya sebagai bangunan yang mempunyai nilai historis atau sejarah. Sebelum pekerjaan konservasi dimulai, perlu dilakukan suatu penelitian dan dokumentasi terhadap bangunan yang akan di konservasi, hal ini dilakukan untuk memastikan pekerjaan restorasi bisa berjalan dengan baik. Pada setiap kurun waktu tertentu, pekerjaan konservasi, aspek dan proses teknis berbagai aktivitas-aktivitas yang terjadi pada bangunan yang sudah dikonservasi harus di data dan di pantau, hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah bangunan yang sudah di konservasi tersebut berfungsi dengan baik atau tidak dan juga untuk mengetahui kapan dan bagaimana bangunan tersebut akan di restorasi kembali.
Apabila dilihat dari segi konservasi, Clarke Quay termasuk kedalam Konservasi Kapital, hal ini dikarenakan konservasi yang terjadi di Clarke Quay merupakan investasi modal yang dilakukan secara sadar dalam pembangunan ekonomi, dengan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Singapura adalah Negara yang syarat dengan kemajuan teknologi dan ekonomi. Pada Negara lain kemajuan teknologi serta ekonomi berdampak pada lingkungan, yaitu dengan meningkatnya polusi dan mengakibatkan degradasi lingkungan. Dalam hal ini Negara singapura berhasil mengatasinya dengan meningkatkan efektifitas input dan mengurangi polusi, dampak yang di timbulkan akibat pertumbuhan ekonomi serta teknologi tersebut ternyata tidak berpengaruh dan merusak lingkungan, justru menjadikan lingkungan menjadi lebih baik.
Hal ini sangat terlihat dengan jelas bahwa konservasi yang di anut oleh Negara
Singapura adalah konservasi Kapital, karena singapura telah berhasil memasukan Kapital kedalam proses konservasi mereka. Karena Singapura sangat memperhatikan sekali keadaan lingkungannya, terutama daerah-daerah penghijauan. Setelah adanya
konservasi lambat laun kawasan Clarke Quay menjadi berubah, bukan hanya dari segi fisik, tapi juga dari segi finansial maupun perekonomian mereka. Hal ini dikarenakan
kawasan ini dijadikan sebagai kawasan komersial serta bisnis. Sesuai dengan teori konservasi bahwa daerah konservasi secara langsung harus di komersilkan terutama untuk investor-investor, karena konservasi memiliki nilai komersial yang positif yang dapat dijadikan menjadi objek wisata serta pusat kegiatan yang menghasilkan devisa dan kemakmuran bagi masyarakat yang tinggal pada kawasan tersebut. Kawasan ini berkembang dan sekarang menjadi kawasan pusat turis yang ada di Negara Singapura karena terkenal dengan, fasilitas, keindahan serta keeksotisannya. Berikut ini adalah perkembangan yang terjadi di Clarke Quay dari masa sebelum di konservasi sampai sudah di konservasi.
Gambar Clarke Quay dan di daerah sepanjang Singapore River sebelum dikonservasi.
(Sumber: google.co.id)
Gambar-gambar di atas terlihat jelas bahwa kondisi kawasan Clarke Quay sebelum di konservasi sangat buruk sekali, kondisi air sungai yang hitam, adanya sampah-sampah di pinggiran kali, perahu atau tongkang-tongkang yang tersusun tidak teratur dan banyak sekali hingga Singapore river menjadi sesak, lalu kondisi-kondisi bangunan yang terlihat tua dan tak terawat dengan baik, pembatas antara sungai dan daratan hanya berupa tanah dan batu kali saja.
Bukan hanya kondisi kawasan saja yang buruk, kondisi perekomonian yang terlihat juga sangat buruk, mereka rata-rata bekerja sebagai nelayan dan pedagang dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah.
Gambar Clarke Quay dan di daerah sepanjang Singapore River sesudah dikonservasi.
(Sumber: google.co.id)
Setelah digulirkan dan dilaksanakan konsep konservasi pada kawasan Clarke Quay, area ini berubah secara drastis, naik itu dari segi penampilan, perekonomian dan budaya yang ada pada kawasan tersebut. Dari segi penampilan kawasan Clarke quay menjadi lebih berwarna dan hidup, karena pada bangunan-bangunan yang di konservasi memiliki warna yang berbeda-beda, hal ini terlihat lebih menarik dibanding sebelumnya, walaupun dari segi penampilan berbeda warna, tapi dari segi ornamen, elemen-elemen dan struktur bangunan masih tetap dipertahankan. Hal inilah yang merupakan tujuan dari konservasi. Dari segi perekonomian, kawasan yang sebelumnya adalah kawasan yang tingkat perekonomiannya rendah dapat berubah secara perlahan menjadi kawasan dengan masyarakat yang perekonomiannya menegah sampai menengah atas. Hal ini terjadi karena perubahan pola perilaku dan pola pikir masyarakat Clarke Quay yang dapat memaksimalkan daerah konservasi menjadi tempat usaha sekaligus tempat tinggal bagi mereka. Dari segi budaya, kawasan ini menjadi lebih banyak menerima kebudayaan dari Negara-negara lain, dikarenakan kawasan ini adalah kawasan pusat turis yang ada di Singapura. Struktur kebudayaannya lebih cepat berkembang di banding kawasan-kawasan lain di singapura. Badan otoritas perencana singapura yaitu Urban Redevelopment Authority (URA) sangat berperan penting dalam konservasi ini, konservasi pada kawasan Clarke Quay dilakukan URA pada bulan Juli tahun 1989. URA mengkonservasi Clarke Quay dengan pertimbangan warisan budaya yang merupakan suatu integral dari tata kota, selain itu juga menambahkan karakter serta identitas yang berbeda dari suatu kota dan memberikan tempat itu suatu memori dan sejarah.
Sampai saat ini konservasi di Clarke Quay masih terus berlangsung hal ini dengan menunjuk SMC ALSOP sebagai arsitek serta pelaksana untuk konservasi Clarke Quay pada tahun 2006. Total area yang di konservasi adalah 3 hektar, tujuan dari konservasi ini adalah memberikan area konservasi ini sebagai satu identitas dan reposisi baru yang menarik minat dan perhatian. Hal ini merupakan tantangan untuk ALSOP, karena harus merancang ulang dan mengembangkan streetscape dan area di tepi Singapore River dengan memperhatikan masalah iklim, tumbuhan dan suhu, serta membuat kawasan ini dari dalam terkesan seperti mall tetapi harus tetap memperhatikan sisi tradisonalnya.
Gambar site plan konservasi (kiri) dan tahap awal pembangunan (kanan)
(Sumber: google.co.id)
Streetscape yang di buat adalah mencakup 4 jalan dan halaman pusat dari Blok yang akan di konservasi, dengan memberikan tanaman pada tengah-tengah sirkulasi, memasang atap, menyediakan tempat teduh, ramah lingkungan dan suhu yang nyaman.
Gambar “Angles”/ payung penutup streetscape
(Sumber: google.co.id)
Dikenal dengan sebutan “Angles” atau “malaikat”, struktur yang digunakan menyerupai payung terdiri dari Etil Tetra Fluro Ethylene (ETFE), langit-langit cushioned, bingkai baja. Angels ini memberikan tempat teduh dan perlindungan terhadap hujan dan panas matahari. Penanaman pohon pada jalan memberikan suasana teduh dan rindang, lalu untuk menyerap hawa panas matahari di buatkan air mancur yang berada di tengah-tengah atau plaza dari area ini, selain sebagai penyerap panas air mancur digunakan untuk citra visual atau keindahan.

Gambar air mancur yang terdapat di plaza
(Sumber: google.co.id)
Pada bingkai baja terdapat kipas angin, gunanya untuk menstabilkan suhu udara di dalamnya agar nyaman. Pada area luar di dekat bibir Singapore River, di buat dinding yang dapat memproyeksikan pemandangan tepi sungai yaitu dengan di buatnya restorant-restorant dan trap-trap tangga yang menghadap ke sungai. Selain itu juga di buat serangkaian “Lilypad”, yaitu tempat makan berupa platform yang melindung dari sinar matahari dan hujan.
Dikenal dengan sebutan “Angles” atau “malaikat”, struktur yang digunakan menyerupai payung terdiri dari Etil Tetra Fluro Ethylene (ETFE), langit-langit cushioned, bingkai baja. Angels ini memberikan tempat teduh dan perlindungan terhadap hujan dan panas matahari. Penanaman pohon pada jalan memberikan suasana teduh dan rindang, lalu untuk menyerap hawa panas matahari di buatkan air mancur yang berada di tengah-tengah atau plaza dari area ini, selain sebagai penyerap panas air mancur digunakan untuk citra visual atau keindahan.
Pada bingkai baja terdapat kipas angin, gunanya untuk menstabilkan suhu  udara di dalamnya agar nyaman. Pada area luar di dekat bibir Singapore River, di buat dinding yang dapat memproyeksikan pemandangan tepi sungai yaitu dengan di buatnya restorant-restorant dan trap-trap tangga yang menghadap ke sungai. Selain itu juga di buat serangkaian “Lilypad”, yaitu tempat makan berupa platform yang melindung dari sinar matahari dan hujan.
Angels atau payung-payung yang di buat tadi ternyata memiliki keistimewaan, yaitu bisa berubah warna sesuai iklim yang sedang terjadi di Singapura, bisa berubah menjadi warna biru, ungu kemerah-merahan, kuning, dan merah. Proyek konservasi yang di kerjakan ALSOP ini selesai pada bulan Juli 2006.
Gambar Lilypad pada tempat-tempat makan
(Sumber: google.co.id)
Gambar kipas angin yang menempel pada struktur payung
(Sumber: google.co.id)

Proyek pada kawasan konservasi Clarke Quay yang sudah selesai
(Sumber: google.co.id)
Bangunan pada kawasan konservasi Clarke Quay merupakan bentuk prinsip dari teknik Urban Design, yang di dalamnya terdapat scale, urban space dan urban mass. Prinsip scale pada Clarke Quay yaitu bisa dilihat dari bentuk massa bangunan dan letaknya terhadap lingkungan sekitar yang mempengaruhi sudut pandang serta dimensi bangunan pada kawasan-kawasan lain di sekelilingnya. Prinsip urban space yaitu meliputi bangunan-bangunan yang tersusun dan menghasilkan sirkulasi ruang, batas-batas serta type-type ruang di dalamnya. Sirkulasi ruang yang tercipta adalah pedestrian serta jalan-jalan yang berada disekitar bangunan atau di tengah bangunan. batas-batas ruang yang ada area ini adalah bagian terluar dari blok serta bangunan yang berhadapan dengan Singapore River maupun menghadap jalan utama. Kawasan ini termasuk gabungan dari scale dan urban space yaitu urban mass, Karena urban mass meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang dapat tersusun untuk membentuk urban space dan pola aktifitas dalam skala besar dan kecil. Urban mass memiliki teknik dan prinsip yang lebih kompleks, dan jika dalam suatu kawasan memiliki prinsip serta teknik scale maupun urban space, maka kawasan tersebut bisa di sebut sebagai urban mass.
Dari semua elemen pembentuk fisik perkotaan tersebut semua saling mendukung dan melengkapi satu sama lain, jika dalam suatu kawasan kurang satu elemen maka kawasan tersebut tidak akan berjalan dengan baik, struktur visual kota yang tercipta menjadi kurang teratur dan tidak stabil, lalu citra lingkungan yang tercipta menjadi buruk karena ke semerawutan kawasan yang tidak berfungsi dengan baik dan benar.

 https://journal.uny.ac.id/index.php/inersia/article/download/10542/8048

Senin, 22 April 2019

Konservasi Arsitektur - TUGAS 3


Kasus Konservasi Arsitektur di Indonesia
Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat

Gedung Merdeka

·         Sejarah Bangunan
Societeit Concordia terletak di Jalan Asia Afrika No. 65, Bandung. Pembangunan bangunan Societeit Concordia atau yang sekarang dikenal sebagai Gedung Merdeka, berjalan seiring dengan rencana perpindahan ibu kota Hindia Belanda dari kota Batavia ke Bandung (1920). Untuk mendukung rencana tersebut, maka diwajibkan mendirikan fasilitas-fasilitas umum, seperti sekolah, stasiun, kantor pemerintahan, bank, pasar, bioskop, dan tempat hiburan serta infrastruktur kota. Gedung Merdeka dibangun atas prakarsa para pengusaha Belanda, pemilik kebun teh, perwira, pembesar dan kalangan lain yang berasal dari Belanda serta berdomisili di Bandung. Gedung tersebut dijadikan sebagai tempat perkumpulan. Mereka mendirikan suatu perkumpulan yang bernama Societiet Concordia pada tanggal 29 Juni 1879, yang awalnya bertujuan sebagai tempat sosial, rekreasi, dan hiburan. Lokasi perkumpulan sebelumnya terletak di Warung De Vries.

Gedung Merdeka

Bangunan Societiet Concordia dibangun pada tahun 1895. Setelah bangunan tersebut selesai dibangun, perkumpulan Concordia berpindah tempat dari Warung De Vries dengan nama “Concordia”. Pada tahun tersebut tempat ini hanya berupa bangunan sederhana, yang sebagian dindingnya terbuat dari papan, dan penerangan halamannya memakai lentera minyak tanah. Bangunannya dibangun seperti layaknya warung kopi, karena sesuai dengan tujuannya, yaitu “de bevordering van gezellig verkeer” yang artinya sebagai tempat pertemuan, dimana mereka biasa berkumpul, duduk-duduk sambil minum teh. Pada tahun 1920, bangunan tersebut dibangun kembali dengan gaya arsitektur modern (Art Deco) yang fungsional dan lebih menonjolkan struktur. Arsitektur bangunannya dirancang oleh C.P. Wolff Schoemaker. Kegunaan gedung ini berubah menjadi gedung pertemuan “super club” yang paling mewah, lengkap, eksklusif, dan modern di Nusantara.
A.F. Aalbers

Societeit Concordia mengalami perombakan pada tahun 1940 dengan gaya arsitektur International Style, dengan arsitek A.F. Aalbers. Arsitek tersebut memiliki aliran yang berbeda, yaitu Nieuw Bouwen, sehingga bentuk bangunannya berbeda dari bangunan aslinya. Bangunan gaya arsitektur ini bercirikan dinding tembok plesteran dengan atap mendatar. Tampak depan bangunan berupa garis dan elemen horizontal, sedangkan bagian gedung bercorak kubistis.


Pada masa pendudukan tentara Jepang (1942 – 1945), Gedung Societeit Concordia berganti nama menjadi Dai Toa Kaikan dan difungsikan sebagai pusat kebudayaan. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, gedung tersebut menjadi markas para pemuda Indonesia untuk menghadapi tentara Jepang yang tidak bersedia menyerahkan kekuasaannya.

Setelah pemerintahan Indonesia mulai terbentuk (1946 – 1950) yang ditandai oleh adanya pemerintahan Haminte Bandung, Negara Pasundan, dan Recomba Jawa Barat, Gedung Concordia dipergunakan lagi sebagai gedung pertemuan umum. Di sini biasa diselenggarakan pertunjukan kesenian, pesta, dan pertemuan umum lainnya.

Ruang Pertunjukan

Pada tahun 1955, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika yang bertempat di Kota Bandung, dan Gedung Concordia sebagai tempat pelaksanaannya. Awal tahun 1955 gedung ini dipugar dan disesuaikan dengan kebutuhan sebagai tempat konferensi bertaraf International. Pembangunannya ditangani oleh Jawatan Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Barat.

Setelah Konstituante Republik Indonesia terbentuk sebagai hasil pemilihan umum tahun 1955, Gedung Merdeka dijadikan sebagai Gedung Konstituante karena Konstituante dipandang gagal dalam melaksanakan tugas utamanya. Selanjutnya, Gedung Merdeka dijadikan sebagai tempat kegiatan Badan Perancang Nasional berubah menjadi Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terbentuk tahun 1960.
Konferensi Asia Afrika

Pada tahun 1965, di Gedung Merdeka berlangsung Konferensi Islam Asia Afrika. Ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI, Gedung Merdeka dikuasai oleh instansi militer dan sebagian dari gedung tersebut dijadikan sebagai tempat tahanan politik G30S/PKI.

Bulan Maret 1980, Gedung Merdeka ditetapkan sebagai tempat penyelenggaraan peringatan ke-25 Konferensi Asia Afrika, yang dilaksanakan tanggal 24 April 1980. Meskipun peringatan itu bersifat nasional, namun dalam kesempatan tersebut diundang pula tokoh-tokoh dari negara-negara Asia Afrika. Pada puncak acara peringatan, diresmikan berdirinya Museum Konperensi Asia Afrika oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Seluruh Gedung Merdeka ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai lokasi Museum Konperensi Asia Afrika, sebagaimana yang tertera dalam Prasasti Peresmian Museum Konperensi Asia Afrika serta Surat Keputusan Bersama Menteri Luar Negeri serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1980 dan 1986.
  
·         Ruang Lingkup Museum KAA Bandung
1.    PAMERAN TETAP
Denah Ruang Pameran Museum KAA

Museum Konferensi Asia Afrika memiliki ruang pameran tetap yang memamerkan sejumlah koleksi berupa benda-benda tiga dimensi dan foto-foto dokumenter peristiwa Pertemuan Tugu, Konferensi Kolombo, Konferensi Bogor, dan Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Selain itu dipamerkan juga foto-foto mengenai :

o    Peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya Konferensi Asia Afrika;
o    Dampak Konferensi Asia Afrika bagi dunia internasional;
o    Gedung Merdeka dari masa ke masa;
o    Profil negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika yang dimuat dalam multimedia.

Dalam rangka menyambut kunjungan Delegasi Konferensi Tingkat Tinggi X Gerakan Nonblok tahun 1992 di mana Indonesia terpilih sebagai tempat konferensi tersebut dan menjadi Ketua Gerakan Nonblok, dibuatlah diorama yang menggambarkan situasi pembukaan Konferensi Asia Afrika tahun 1955.

Penataan kembali Ruang Pameran Tetap “Sejarah Konperensi Asia Afrika 1955”
Dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika 2005 dan Peringatan 50 Tahun Konferensi Asia Afrika 1955 pada 22 – 24 April 2005, tata pameran Museum Konperensi Asia Afrika direnovasi atas prakarsa Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Dr. N. Hassan Wirajuda. Penataan kembali Museum tersebut dilaksanakan atas kerja sama Departemen Luar Negeri dengan Sekretariat Negara dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Perencanaan dan pelaksanaan teknisnya dikerjakan oleh Vico Design dan Wika Realty.
Rencana Pembuatan Ruang Pameran Tetap “Sejarah Perjuangan Asia Afrika” dan Ruang Identitas Nasional Negara-negara Asia Afrika (2008) Departemen Luar Negeri RI mempunyai rencana untuk mengembangkan Museum Konperensi Asia Afrika sebagai simbol kerja sama dua kawasan dan menjadikannya sebagai pusat kajian, pusat arsip, dan pusat dokumentasi. Salah satu upayanya adalah dengan menambah beberapa ruang pameran tetap, yang memamerkan sejumlah foto dan benda tiga dimensi mengenai Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (New Asian African Strategic Partnership/NAASP) serta berbagai materi yang menggambarkan budaya dari masing-masing negara di kedua kawasan tersebut. Pengembangan museum ini direncanakan terwujud pada April 2008, bertepatan dengan Peringatan tiga tahun Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika.

2.    PERPUSTAKAAN
Hasil gambar untuk perpustakaan museum kaa
Interior Perpustakaan Museum KAA

Untuk menunjang kegiatan Museum Konperensi Asia Afrika, pada 1985 Abdullah Kamil (pada waktu itu Kepala Perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia di London) memprakarsai dibuatnya sebuah perpustakaan.

Perpustakaan ini memiliki sejumlah buku mengenai sejarah, sosial, politik, dan budaya Negara-negara Asia Afrika, dan negara-negara lainnya; dokumen-dokumen mengenai Konferensi Asia Afrika dan konferensi-konferensi lanjutannya; serta majalah dan surat kabar yang bersumber dari sumbangan/hibah dan pembelian.

Bersamaan dengan akan diperluasnya ruang pameran tetap Museum Konperensi Asia Afrika pada April 2008, perpustakaan pun akan dikembangkan sebagai pusat perpustakaan Asia Afrika yang proses pengerjaannya dimulai pada 2007. Perpustakaan ini diharapkan akan menjadi sumber informasi utama mengenai dua kawasan tersebut, yang menyediakan berbagai fasilitas seperti zona wifi, bookshop café, digital library, dan audio visual library.

3.    AUDIO VISUAL
Ruang Audio Visual Museum KAA

Seperti juga perpustakaan, ruang audio visual dibuat pada 1985. Keberadaan ruang ini juga diprakarsai oleh Abdullah Kamil. Ruangan ini menjadi sarana untuk penayangan film-film dokumenter mengenai kondisi dunia hingga tahun 1950-an, Konferensi Asia Afrika dan konferensi-konferensi lanjutannya, serta film-film mengenai kondisi sosial, politik, dan budaya dari negara-negara di kedua kawasan tersebut.

4.    TAHAP PEMUGARAN
Gambar terkait
Museum KAA Bandung
Museum KAA diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 24 April 1980, sebagai puncak peringatan 25 tahun KAA. Saat ini Museum KAA berada di bawah Kementerian Luar Negeri, menjadi UPT dari Direktorat Diplomasi Publik. Museum KAA menempati Gedung Merdeka, yang hingga saat ini menjadi milik DPR/MPR, dan berada di bawah pengawasan Sekretariat Negara. Pengelolaan gedung tersebut di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Museum KAA memamerkan sejumlah koleksi berupa benda-benda tiga dimensi dan foto-foto dokumenter peristiwa pertemuan Tugu, Konferensi Kolombo, Konferensi Bogor, dan Konferensi Asia Afrika tahun 1955.


www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com

Copyright © Vanvan | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | BTheme.net      Up ↑